PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS
PENDAHULUAN
ANATOMI JALAN NAFAS
Jalan Nafas Supraglotis
Laring
Jalan Nafas Subglotis
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN ANATOMI JALAN NAFAS NORMAL
Prediksi
Preparasi
PERLENGKAPAN UNTUK PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT
TEHNIK JALAN NAFAS LANJUTAN
KERETA PERLENGKAPAN JALAN NAFAS SULIT
PENDEKATAN UNTUK ANESTESI JALAN NAFAS
Pilihan Pemberian
LATIHAN
KESIMPULAN
PENDAHULUAN
Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah.
Seorang dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam
penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan terbesar dari seorang dokter
anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan
pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan
penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang
sulit penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan
bahwa 1 - 18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari
jumlah ini 0,05 - 0,35% pasien tidak dapat diintubasi dengan baik,
bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika
kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien
sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 – 10 pasien
yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Efek dari
kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak
sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya
penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah
kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh American Society of
Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah
ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden kerusakan otak
dan kematian disebabkan oleh kesulitan respirasi. Tujuan dari bab
berikut adalah mendiskusikan dasar-dasar dari anatomi jalan nafas dan
penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit.
ANATOMI JALAN NAFAS
Secara sistem, jalan nafas dimulai dari bagian luar yaitu mulut dan
hidung kemudian berakhir di alveolar. Pemahaman mengenai anatomi jalan
nafas dapat membantu penatalaksanaan pasien selama periode operatif.
Pada bagian berikutnya akan dilakukan peninjauan mengenai dasar anatomi
jalan nafas dan fungsionalnya. Anatomi jalan nafas akan didiskusikan
dalam beberapa bagian yaitu jalan nafas supraglotis, laring dan jalan
nafas subglotis.
Jalan Nafas Supraglotis
Hidung
Hidung
berfungsi melembabkan dan menghangatkan udara saaat udara masuk kedalam
hidung. Udara yang masuk dari hidung dibatasi dengan ukuran dari turbin
pada lubang hidung, dimana didalamnya banyak terdapat pembuluh darah,
sehingga pada pemasukan endotracheal tube atau bronchoscope melalui
hidung dapat menyebabkan banyak perdarahan. Septum nasal kadang
berdeviasi pada beberapa orang sehingga menyebabkan salah satu lubang
hidung akan menyempit dibandingkan dengan sisi sebelahnya. Nasofaring
kemudian terbuka dan menyambung dengan orofaring. Cabang dari Nervus V
yang akan menginervasi sensorik pada hidung.
Faring
Ruang pada
bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring, orofaring,
dan hipo faring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit
proses intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut
menutupi jalan masuk. Otot internal dari faring membantu proses menelan
dengan mengangkat palatum. Sedangkan otot eksternalnya merupakan otot
konstriktor yang membantu mendorong makanan masuk kedalam esophagus.
Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari endotracheal tube
pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien yang
teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal
dari Nervus Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang
dipersarafi oleh Nervus Kranial V.
Penyumbatan jalan nafas dapat
terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat timbulnya pembengkakan
yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut terjadi pada
daerah Palatum Molle yang kemudian menepel pada dinding nasofaring.
Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan
nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini
dapat terjadi pada pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada
pasien sewaktu tidur. Penyumbatan terjadi akibat penurunan tonus otot
dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien yang bernafas spontan,
penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan meningkatnya
frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar
dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan
penyumbatan yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan
jaringan lunak ke daerah yang kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat
pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.
Laring
Laring
memiliki bentuk yang rumit yang berfungsi yaitu melindungi jalan nafas
bawah, sebagai salah satu organ untuk fonasi, dan membantu proses
pernafasan. Semua fungsi tersebut bergantung pada proses interaksi
antara kartilago, tulang, dan jaringan lunak yang merupakan komponen
dari faring dan laring. Laring memiliki 9 kartilago yaitu Epiglotis,
Tiroid, Krikoid, Sepasang Aritenoid, Sepasang Cuneiformis dan Sepasang
Corniculata. Laring memiliki otot-otot ekstrinsik dan intrinsik.
Persarafan sensorik dan motorik dari jalan nafas bagian atas juga
banyak.
Struktur Laring
Bentuk struktur laring terdapat pada
gambar 6-1. Tulang Hyoid akan menggantung pada laring dan menempel pada
tulang Temporal melalui ligament Stylohyoid.
Kartilago Laring
Kartilago Tiroid : Merupakan kartilago terbesar dari laring dan memiliki
sudut yang lebih tajam pada laki-laki sehingga memberikan bentuk
menonjol dan panjang. Memberikan nada rendah pada pita suara. Kartilago
ini melekat pada membrane Hyoid di bagian atas dan berartikulasi dengan
kartilago Krikoid di bagian bawah. Bagian batang Epiglottis dan ligamen
Vestibular melekat pada permukaan bagian dalamnya.
Kartilago
Krikoid : Berbentuk cincin utuh dengan bagian belakang yang lebih lebar
melekat pada Esophagus. Sudut anterior melekat pada kartilago tiroid
melalui membrane Cricotiroid. Membran Cricotiroid tidak memiliki
pembuluh darah sehingga dapat menjadi akses jalan nafas dalam keadaan
gawat darurat dengan cara insisi di bagian tengahnya atau dengan
menusukan jarum pada bagian tengahnya.
Kartilago Aritenoid :
Berbentuk pyramidal, Aritenoid adalah tempat tambatan bagi beberapa otot
internal laring dan juga bagi pita suara. Kartilago Cuneiformis dan
Corniculata melekat pada kartilago ini melalui ligamennya.
Epiglotis : Merupakan stuktur bentuk kartilago yang besar berbentuk
tetesan air atau daun atau sadel sepeda. Sifatnya flesibel dengan ukuran
yang berbagai macam. Terletak vertical dibelakang tulang Hyoid dan
melekat pada ligamen Hyoepiglotis. Dasar epiglottis melekat pada
Aritenoid melalui lipatan Aryepiglotis. Mukosa dari Epiglotis berjalan
ke anterior dan lateral membentuk ruang antara lipatan Faringoepiglotis
yang disebut Valecula. Ruang ini merupakan tempat jatuhnya benda asing
seperti makanan dan juga merupakan tempat yang tersedia untuk meletakan
ujung dari bilah laringoskop Macintosh.
Interior Laring
Bagian dalam laring merupakan struktuk bentuk yang rumit juga. Lekukan
pada laring dari faring berbentuk hampir tegak lurus. Rongga laring
dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Vestibula memanjang dari lengkung
laring kearah lipatan vestibular yang disebut sebagai pita suara palsu.
Ventrikel laring memanjang dari pita suara palsu sampai ke pita suara
asli. Daerah antara pita suara saat menutup dan kartilago Aritenoid
disebut Rima Glotis. Bagian ini adalah bagian yang paling dangkal dari
jalan nafas atas pada orang dewasa. Infraglotis laring memanjang dari
pita suara sampai bagian atas trakea dibatasi oleh membrane Cricotiroid
dan kartilago Krikoid. Daerah ini adalah daerah yang paling dangkal pada
jalan nafas anak (gambar 6-2).
Otot-Otot Laring
Otot-otot
ekstrinsik laring bekerjasama dengan bagian laring lainnya untuk
bergerak pada proses menelan. Otot-otot ini termasuk Sternohyoid,
Sternothyroid, Thyrohyoid, Thyroepiglottis, Stylopharingeus, dan
Konstriktor Pharingeal Inferior. Otot-otot dalam laring meng aduksi pita
suara untuk menutup pada saat menelan dan abduksi pada saat inspirasi
serta mengubah tegangan pada pita suara selama proses fonasi. Otot-otot
dari laring ini adalah :
Oblique Arytenoid ; Menutup Rima Glotis.
Tranverse Arytenoid ; Adduksi Arytenoid, menutup Rima Glotis.
Lateral Cricoarytenoid ; Adduksi pita suara.
Posterior Cricoarytenoid ; Abduksi pita suara.
Cricithyroid ; Tegangan pada pita suara.
Thyroarytenoid ; Relaksasi tegangan pada pita suara.
Vocalis ; Relaksasi pita suara.
Penutupan
pada laring adalah proses yang penting. Laring dfapat ditutup pada tiga
bagian : lipatan Aryepiglottis, pita suara palsu dan pita suara asli.
Laring akan menutup selama proses menelan dimana akan terjadi tiga tahap
pada proses tersebut : pertama, makanan akan didorong kearah posterior
faring oleh lidah, kedua, tahap menelan, proses respirasi akan berhenti,
otot palatoglosal berkontraksi dan orofaring tertutup dari nasofaring
dan laring dengan kerjasama antara beberapa otot yang menarik laring
superior agar epiglottis menutup laring. Pada tahap ketiga proses
penelanan makanan yang membawa makanan masuk ke Esophagus.
Persarafan Laring
Struktur laring mempunyai persarafan sensorik dan motorik (tabel 6-1),
Fungsi motorik sebagai adduksi (penutupan pita suara), abduksi (membuka
pita suara) dan tegangan (menegangkan pita suara untuk mengeluarkan
suara dengan nada tinggi). Semua persarafan sensorik dan motorik dari
otot-otot intrinsic laring berasal dari percabangan Nervus Vagus. Nervus
Laringeal Superior adalah cabang dari Nervus Vagus yang berjalan di
sisi dalam Arteri Carotis sebelum terbagi menjadi cabang external dan
internal. Cabang internal yang besar masuk kedalam membrane Thyroid dan
Os. Hyoid. Cabang ini kemudian akan mempersarafi sensorik dari laring.
Cabang eksternal dari Nervus Laringeal Superior membawa serabut motorik
dari Nervus Assesory Spinalis. Cabang ini berjalan sepanjang kartilago
Thyroid mempersarafi otot Cricothyroid. Nervus Laringeal Rekurens
meninggalkan Vagus di daerah dada kemudian berjalan di bagian alur
tracheoesophageal. Nervus Laringeal Rekurens mempersarafi motorik dari
semua otot-otot intrinsik dari laring kecuali otot Cricothyroid. Reflex
laryngeal dapat terstimuli di daerah laring atau supraglotis dan dapat
menyebabkan tertutupnya pita suara sampai dengan terjadinya
laringospasme. Untuk memblok sensorik dari mukosa laring dibutuhkan blok
daripada Nervus Laringeal Superior sampai dengan pita suara ditambah
dengan blok pada Nervus Laringeal Rekurens atau dengan pemberian
anestesi lokal dengan injeksi transtracheal atau dengan spray pada
mukosa di bawah pita suara. Blok motorik komplit untuk memfasilitasi
intubasi dibutuhkan blok pada Nervus Laringeal Rekuren karena nervus ini
mempersarafi fungsi motorik dari semua nervus intrinsik dari laring
kecuali untuk otot Cricothyroid. Blok pada saraf ini dapat dilakukan
dengan transtracheal atau injeksi pada Cricothyroid atau secara topikal
dengan spray.
Stimulasi dari struktur supraglotis dapat menyebabkan
penutupan glottis atau laringospasme. Stimuli ini dapat berupa sentuhan
panas atau kimiawi. Respon ini biasanya cepat. Laringospasme adalah
suatu keadaan dimana glottis menutup rapat setelah timbulnya rangsangan.
Jalan Nafas Subglotis
Jalan nafas subglotis memanjang dari kartilago Cricoid sampai alveolar.
Rangkuman lengkap mengenai anatomi ada diluar bab ini, bagaimanapun
diskusi-diskusi mengenai anatomi dari bronkus mayor akan dibahas.
Trachea
Trakea dimulai dari kartilago Cricoid dan memanjang sampai T 5 (Panjang
±10 – 20 cm). Kartilago tracheal adalah cincin yang tidak utuh bulat
dengan bagian posterior berbentuk datar tanpa kartilago. Percabangan
bronkus ada ke kiri dan ke kanan dimana pada bronkus kanan sudut
percabangannya lebih landai pada orang dewasa sehingga pada saat
intubasi endotracheal tube lebih mudah masuk ke bronkus kanan.
Bronkus Lobaris
Paru kanan dan kiri mempunyai anatomi lobus yang berbeda (tabel 6-2).
Paru kanan mempunyai tiga lobus yaitu atas, tengah dan bawah sementara
paru kiri mempunyai dua lobus yaitu atas dan bawah. Tinggi lobus paru
kanan lebih tinggi daripada paru kiri. Perbedaan ini berguna pada
pembedaan antara kiri dan kanan pada saat dilakukan bronchoscopy.
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN ANATOMI JALAN NAFAS NORMAL
Penguasaan jalan nafas dengan sungkup dan bag adalah hal yang penting
untuk melakukan tindakan anestesi yang aman dan merupakan tindakan dasar
yang digunakan untuk melakukan ventilasi pada pasien yang bernafas
spontan ataupun pada pasien yang telah diberi pelumpuh otot. Gerakan
menyingkirkan lidah dan jaringan lunak lain pada jalan nafas supraglotis
anterior akan membantu membuka jalan nafas. Berbagai tindakan tersebut
antara lain Chin Lift, Jaw Thrust, Head Tilt dan alat untuk membantu
jalan nafas oral ataupun nasal (gambar 6-4).
Kesulitan ventilasi
dengan sungkup dapat diperkirakan pada beberapa pasien. Berbagai faktor
yang dilaporkan berhubungan dengan kesulitan ventilasi dengan sungkup
diantaranya adalah:
Jenggot yang tebal.
Index Massa Tubuh >26.
Ompong.
Usia >55 tahun.
Riwayat Snoring.
Beerbagai
tindakan bantuan untuk melakukan intubasi pasien normal dapat dilakukan
untuk mempermudah visualisasi laring. Beberapa hal utama untuk
mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada pasien dengan
anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan
ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering
disebut sebagai “Sniffing Position” dan ini adalah cara yang terbaik
untuk mengerti mengenai tiga bagian sudut utama pada jalan nafas. Pada
jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang dari mulut terletak horizontal,
pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut panjang dari faring
terletak hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak
vertical dari arah posterior ke anterior. Penjajaran dari ketiga sudut
ini menyebabkan pita suara dapat terlihat dari mulut (Gambar 6-5).
Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan intubasi
sulit karena adanya keterbatasan posisi anterior dari laring.
Penggunaan laryngeal mask airway (LMAs) dapat menjadi alternative untuk
penatalaksanaan jalan nafas tipe intermediate. Pada banyak pasien
penggunaan LMA dapat digunakan secara aman untuk menggantikan intubasi
endotracheal. Ada beberapa aturan mengenai penggunaan LMA untuk
penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas yang sulit yang akan
dibahas berikutnya. Terakhir, ada beberapa aturan untuk penggunaan LMA
dalam keadaan gawat darurat atau kondisi trauma, bahkan jika tindakan
tersebut akan dilakukan oleh paramedis.
PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT
Idealnya, semua pasien mempunyai anatomi jalan nafas normal, sehingga
pasien manapun saat pasien menjalani tindakan medis yang membutuhkan
pengendalian jalan nafas tidak akan memiliki resiko diatas. Karena hal
ini bukan hal yang relistik maka seorang dokter anestesi harus mempunyai
cara untuk mengetahui dan menangani pasien-pasien dengan anatomi jalan
nafas abnormal. Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan
kesulitan jalan nafas adalah dengan tiga “P” yaitu :
Prediksi.
Preparasi
Practice
Prediksi
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan
membuat dokter anestesi dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara
penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal
ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan (akan dibahas
berikutnya) akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan
nafas, dan beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi
menjadi hipoksia saat dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum
yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau tidak
yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah mengevaluasi tes
prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.
Kesulitan intubasi
dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak dapat
memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat
dikatakan bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk
melakukan intubasi. Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan
dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari laringoskop
(gambar 6-6). Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat
derajat III atau IV.
Derajat I : Pita suara terlihat.
Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.
Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.
Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.
Pada
penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk
memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada
berbagai faktor yang harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk
dilakukannya intubasi endotracheal.
Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien
tidak mengetahui riwayat intubasi sebelumnya jika pada pasien tersebut
saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak memiliki kesulitan intubasi.
Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat intubasi yang
sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan
mengalami intubasi sulit terus. Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan
intubasi sulit adalah:
Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins, Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll.
Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis,
Fiksasi atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular.
Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses, Infeksi Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan.
Trauma pada wajah dan leher, luka baker, perubahan-perubahan post operasi termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi.
Bentuk
gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat
laring selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada
pasien yang memiliki gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah
laringoskop.
Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari
bukaan mulut yang kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor
dan kemampuan untuk prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus
muat untuk dilewati bilah standar laringoskop.
Derajat Orofaringeal:
lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan evaluasi dengan
membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4 adalah
merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 6-7).
Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki anatomi jalan nafas yang sulit.
Jarak
thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan
puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan
semakin terlihat.
Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting
untuk dievaluasi, selama intubasi lidah dan jaringan lunak lain didasar
mulut akan terdorong ke anterior ke ruang mandibula dan menyebabkan
akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang mandibula yang kecil
seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan mempersulit
untuk terlihatnya laring selama intubasi.
Lemak tubuh juga harus
dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal dan luas serta
kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi terbatas
seperti tumpukan lemak diantara scapula.
Pergerakan leher dinilai
berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya. Pergerakan kepala pada
persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada
sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior.
Penilaian tes-tes
tersebut telah dilakukan di semua literatur. Semakin banyak faktor yang
dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan
pasien dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif
dari pemeriksaan tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi
jalan nafas akan semakin tinggi. Jika semua faktor penilaian anatomi
jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan untuk intubasi akan
semakin rendah.
Pemeriksaan jalan nafas dapat
dilakukan dengan berbagai cara. “The American Society of
Anesthesiologist (ASA) Task Force on Difficult Airway Management” telah
mengumumkan pemeriksaan secara ekstensif untuk menemukan hal-hal yang
diwaspadai yang berhubungan dengan kesulitan intubasi (tabel 6-3). Satu
set cara yang berhasil baik untuk dilakukannya evaluasi terdapat dibawah
ini, pasien dengan posisi duduk atau setengah duduk dinilai:
Lemak Tubuh, terutama distribusinya disekitar leher dan kepala.
Jarak Thyromental, Ruang mandibular, “Saya akan meletakan tangan saya dibawah dagu anda”.
Gigi, bukaan mulut dan ruang oral-faringeal: “Buka mulut anda
selebar-lebarnya;”jika skor Mallampati bukan 1 atau 2 pasien disuruh
bersuara.
Pergerakan sendi temporomandibular: “ Santai. Sekarang
gerakan dagu anda kedepan sampai gigi bawah anda melebihi gigi atas
anda”.
Flexi leher: “ Gerakan kepala anda sampai dagu anda menempel pada dada anda”.
Ekstensi kepala: “ Saya akan meletakan tangan saya dibelakang leher
anda, kemudian dorong kepala anda sejauh anda bisa, seolah-olah anda
ingin melihat ke langit-langit.
Pemeriksaan ini dilakukan pada
pasien dengan posisi sniffing. Jika tidak ada kelainan dalam pemeriksaan
maka intubasi akan mudah dilakukan, namun jika dari hasil pemeriksaan
abnormal, maka akan dijumpai intubasi sulit. Contohnya Jika pasien dapat
memflexikan kepala namun tidak dapat mengekstensikan kepalanya maka
laring pada pasien tersebut kemungkinan akan ke anterior. Hal ini sering
terjadi pada pasien yang memiliki kelainan degeneratif sendi,
rheumatoid arthritis, atau obesitas. Beberapa poin penting untuk
diketahui dari literature yaitu:
Pada seorang dokter anestesi yang
sibuk, tiap tahunnya ia pasti akan menjumpai beberapa pasien dengan
kesulitan jalan nafas dan beberapa diantaranya bahkan akan sulit untuk
diventilasi.
Prediksi sulit intubasi akan lebih akurat bila semua faktor-faktor yang mempengaruhi sulit intubasi sudah diperiksa.
Pasien dengan riwayat sulit intubasi harus diperlakukan sebagai pasien
yang diprediksi untuk intubasi sulit. Beberapa dokter anestesi
berpendapat bahwa pasien-pasien seperti ini harus didaftarkan ke kegawat
daruratan medis atau sejenisnya.
Jika hasil pemeriksaan pasien
dalam batas normal maka kemungkinan intubasi akan lebih mudah. Beberapa
pasien yang diperkirakan akan sulit diintubasipun akan mudah diintubasi.
Hal penting, pada beberapa pasien yang diperkirakan normal, anatomi
jalan nafas normal, dapat menjumpai kesulitan juga. Karena hal-hal
tersebut maka dokter anestesi harus selalu siap untuk menangani
pasien-pasien dengan anatomi jalan nafas sulit.
Preparasi
Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang
sulit membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat.
Pengetahuan yang dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah
pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan semua pasien,
kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah menetukan beberapa
tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit.
Algoritma tersebut adalah:
1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya :
a. Ventilasi sulit.
b. Intubasi sulit.
c. Kesulitan dengan pasien yang tidak kooperatif.
d. Sulit untuk ditrakeostomi.
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan nafas sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai pilihan penatalaksanaan :
A. Intubasi sadar Versus Intubasi setelah Induksi pada GA.
B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif Versus Pendekatan tehnik intubasi invasif.
C. Pemeliharaan ventilasi spontan Versus Ablasi ventilasi spontan.
4. Membuat strategi utama dan alternatifnya (Gambar 6-8).
Keberhasilan
aplikasi dari algoritma tergantung pada pengenalan pada pasien yang
memiliki anatomi jalan nafas, ventilasi ataupun kooperatif yang sulit.
Dokter anestesi harus memiliki berbagai macam pertimbangan dalam
metode-metode penatalaksanaan jalan nafas (Sadar atau tidak, jalan nafas
surgical atau tidak). Penatalaksanaan yang baik tergantung pada
oksigenasi atau ventilasi yang adekuat pada saat mengendalikan jalan
nafas. Dari algoritma tersebut jelas disebutkan pilihan-pilihan yang
harus diambil pada saat penatalaksanaan agar dapat memperoleh ventilasi
dan oksigenasi yang baik. Beberapa perlengkapan yang tersedia dapat
membantu melaksanakan intubasi sulit menjadi berhasil diintubasi (
seperti fiberoptic, retrograde, dll ) atau tidak bisa diventilasi
menjadi bisa diventilasi ( Transtracheal jet, LMA ). Perlengkapan yang
dipilih harus berdasarkan pada keahlian dari masing-masing dokter
anestesi tersebut. Jumlah pilihan tersebut sangat banyak dan beberapa
pilihan akan didiskusiskan berikut ini.
PERLENGKAPAN UNTUK PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT
Jalan Nafas
Dapat berupa oral ataupun nasal, dapat membantu mengubah tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi.
Stylets, Intubasi Guides and Bougies
Ini adalah merupakan kawat standar yang digunakan untuk membuat
endotracheal tube menjadi kaku, sehingga mempermudah intubasi ke dalam
laring. Stylets sangat berguna untuk intubasi pada laring yang lebih ke
anterior. Berguna juga untuk membantu proses “Blind Intubasi” dengan
transiluminasi pada laring. Stylets untuk intubasi juga didesain untuk
ventilasi dengan ujung tengahnya yang dapat membantu membuat “Jet
Ventilation” atau membantu verifikasi karbon dioksida pada saat stilet
tersebut di letakkan di jalan nafas.
Airway Exchange Catheter
Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah
karbon dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan
bersama dengan “Jet Ventilation” untuk meningkatkan oksigenasi selama
pemasangan endotracheal tube.
Specialized Forceps
Forsep ini
digunakan untuk memandu proses pemasangan endotracheal tube masuk ke
laring atau untuk membantu meretraksi lidah selama intubasi fiberoptic.
Laringoscopy
Laringoscopy ini dibuat dengan berbagai macam perlengkapannya.
Laringoskop direct vision rigid dilengkapi dengan berbagai bentuk dan
ukura bilah. Pada pasien tertentu memiliki kecocokan dengan bentuk bilah
tertentu. Contoh, Pasien yang memiliki epiglottis yang panjang dan
menjuntai lebih cocok menggunakan bilah lurus daripada bilah Macintosh.
Laringoskop semidirect rigid mempunyai prisma pada bilahnya sehingga
bisa melihat struktur laring pasien yang tidak bisa dilihat secara
langsung namun terlihat melalui prisma tersebut. Laringoskop fiber optis
rigid seperti Bullard dan Upsher scopes dapat memvisualisasi laring
melalui fiberopticnya. Scopes ini sangat berguna pada pasien dengan
laring yang lebih ke anterior. Keuntungan dari intubasi dengan
laringoskop fiberoptic rigid termasuk :
Penggunaan Scopes rigidnya sama dengan laringoskop biasa
Kurva lengkungnya lebih pendek
Lebih tahan lama daripada scopes fiberoptic flexible.
Kerugian intubasi dengan laringoskop fiberoptic rigid :
Melihat endotracheal tube masuk ke laring melalui fiberoptic tetapi tidak melalui scope-nya.
Tehnik penggunaannya lebih sulit atau kurang lazim dipergunakan.
Ukuran batas pasien berhubungan dengan ukuran besar bilah.
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes
flexible untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk
intubasi dengan bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari
ukuran standard diagnostic bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk:
Endotracheal tube masuk ke trakea dengan penglihatan langsung melalui scope.
Tidak terbatas pada ukuran besar pasien karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran.
Untuk kepentingan terapi seperti penempatan bronchial blockers dan
double lumen endotracheal tube. Selain itu dapat digunakan juga untuk
mengangkat sekret dari bronkus.
Kerugian FBI termasuk:
Tehnik penggunaannya sulit untuk dipelajari.
Perlengkapannya mudah rusak dan mahal
Kesulitan penggunaan FBI termasuk:
Darah dan sekret dapat mengaburkan penglihatan.
Mudah untuk “menyasar” didaerah jalan nafas, terutama daerah midline.
Anatominya berubah.
Permasalahan khusus dengan FBI:
Endotracheal tube dapat tergantung pada struktur laring.
Scope dapat terputar di laring.
Lensanya dapat berkabut.
Saran intubasi dengan fiberoptic
Berapa banyak? Secara umum dibutuhkan 10 kali percobaan intubasi untuk
bisa menggunakan broncoscope dengan lancer. Kurang lebih 25 kali
terbiasa intubasi pada pasien normal dan lebih baik lagi jika bisa
melakukan intubasi sulit.
Bagaimana cara belajar menggunakannya?
Harus terbiasa menggunakan Scope-nya. Belajar untuk memegang dan
menggerakan scope-nya dengan cara yang sama setiap waktu. Teropong atau
scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari
teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke
faring diusahakan agar posisinya tetap di garis tengah. Intubasi nasal
karena posisi nasal yang ditengah menyebabkan scope tetap ditengah.
Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm. ujung scope
digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat laring,
kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita
suara. Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi
semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas
karina tanpa menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme dan
batuk. Masukan endotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar
di scope tetap pada karina. Jika endotracheal tube tidak bisa masuk,
coba dilakukan tehnik dibawah pada berikut ini. Jangan
memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat
menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.
Tehnik
anestesi: Dimulai dari pasien normal, setelah pasien ditidurkan,
dilumpuhkan dan diventilasikan oleh asisten dengan menggunakan sungkup.
Kemudian meningkat pada pasien tidur, bernafas spontan, dengan atau
tanpa anestesi regional pada jalan nafas. Kuasai hal-hal ini dulu
sebelum melakukan FBI pada pasien sadar, tersedasi, bernafas spontan.
Anestesi regional pada jalan nafas akan membantu memfasilitasi intubasi
pada pasien sadar atau tersedasi.Anestesi yang adekuat untuk intubasi
membutuhkan blok baik sensorik maupum motorik dari permukaan laring dan
otot-ototnya. Hal ini membutuhkan blok dari Nervus Laringesus Superior
dan Nervus Laringeus Rekuren. Ada beberapa resiko untuk anestesi
regional pada jalan nafas. Blok pada Nervus Laringeus Superior akan
memblok sensorik dari dasar lidah dan epiglottis sehingga dapat terjadi
aspirasi pada pasien oleh karena masuknya benda asing yang dimuntahkan
pasien. Ini terjadi karena reflek untuk menutup pada laring sudah
terblok sehingga laring tidak dapat berfungsi normal. Biasanya blok pada
Nervus Laringeus Rekuren menyebabkan timblulnya blok motorik pada otot
Laringeal adductor dan mencegah reflek menutup sehingga benda asing yang
dimuntahkan pasien juga dapat masuk dan terjadi aspirasi. Resiko yang
lebih buruk dapat terjadi pada saat terjadinya aspirasi benda dalam
lambung saat dilakukannya anestesi regional pada jalan nafas. Karena
alasan ini anestesi regional pada jalan nafas menjadi kontra indikasi
pada pasien dengan lambung penuh atau pada pasien dengan penyakit reflux
esophageal.
Perlengkapan intubasi: Terdapat beberapa alat yang
dapat digunakan. Intubasi dengan menggunakan scope dapat dilakukan saat
ruang orofaring terbuka. Sungkup intubasi juga tersedia sehingga kita
dapat intubasi saat dilakukannya ventilasi oleh rekan kerja kita. The
Cuffed Oropharingeal Airway (COPA) juga dapat digunakan, dan pasien juga
tetap dapat diintubasi saat dilakukannya ventilasi. Bagaimanapun juga
ujung dari scope harus didorong melewati cuff dari COPA untuk dapat
memvisualisasi pita suara, setelah itu baru diintubasi. Kita juga dapat
melakukan intubasi dengan menggunakan LMA. Cara terbaik untuk melakukan
endoskopi adalah dengan meminta bantuan dari rekan kerja untuk melakukan
jaw thrust atau menarik lidah pasien untuk membantu kita.
Kemungkinan masalah yang akan timbul: Beberapa pasien mungkin akan
membutuhkan tehnik tertentu untuk dilakukannya intubasi. Masalah yang
sering timbul adalah menempatkan ujung dari scope pada trakea sebab
kemungkinan yang sering timbula adalah ET tidak dapat masuk, penyebab
hal ini antara lain: Ujung dari ET yang tersangkut pada tulang rawan
atau letak scope pada posisi faring posterior. Jika dilakukan pemaksaan
maka kemungkinan akan timbul cedera pada jalan nafas dan ini tidak
menyelesaikan masalah. Yang harus dilakukan adalah menarik scope
perlahan sambil mempertahankan trakea tertap terlihat dan masukan ET
lagi. Yang harus disadari adalah jika karina sudah terlihat maka
intubasi masih harus terus dilanjutkan dan bukan berhenti sampai disitu
saja. Endotracheal tube dapat tidak masuk saat dilakukannya intubasi
nasal dan ini dapat menimbulkan perdarahan yang dapat menggagalkan
endoskopi fiberoptic. Endotracheal tube yang terlalu besar untuk pasien
ataupun pita suara pasien yang tertutup juga dapat mempersulit intubasi.
Pasien yang kecil: Jika endotracheal tube terlalu terlalu kecil untuk
bisa dilewati scope maka dibawah penglihatan langsung dapat dipasangkan
guide wire (Dari ureteral stent atau perlengkapan retrograde intubation)
pada ujung suction dari bronchoscope untuk masuk kedalam trakea.
Setelah itu singkirkan bronchoscope dan tinggalkan wire tetap didalam
trakea. Masukan endotracheal tube dengan bantuan wire tersebut sementara
dilakukannya visualisasi dari laring dengan bronchoscope.
Latihan
dengan menggunakan bronchoscope untuk intubasi pada kondisi pasien tidak
sadar dan dilumpuhkan. Biasanya dibutuhkan 10-20 kali latihan intubasi
agar dapat mengintubasi pasien normal dengan baik. Jika hal ini sudah
berhasil maka tehnik tersebut ditingkatkan pada pasien dengan kondisi
tidak sadar dan bernafas spontan. Dengan latihan terus menerus (kurang
lebih 40 kali intubasi) maka seorang dokter dapat melakukan intubasi
dengan baik pada pasien dengan anatomi jalan nafas abnormal, bahkan pada
pasien sadar.
Aturan Pemasangan Laringeal Mask Airway pada penatalaksanan jalan nafas sulit
LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi
menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada
jalan nafas alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi.
Bagaimanapun juga bila ventilasi sudah dapat diyakinkan maka tehnik
jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman. The Intubating
Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk
penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan
endotracheal tube dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien
dengan alat ini, bahkan pada percobaan intubasi pertama. Penggunaan
ILMA harus dipertimbangkan pada penanganan awal pasien dengan anatomi
jalan nafas sulit yang tidak diduga karena dapat membantu mengendalikan
jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka LMA masih dapat
digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau
dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes
(tabel 6-4).
Blind Intubation dengan endotracheal tube melalui laryngeal mask airway
Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA.
Berikan lumbrikasi pada ET melalui LMA, putar 90º dari posisi normal
agar mudah melewati LMA; Pada jarak 20 cm, putar ET kembali ke posisi
normal.
Masukan ET ke dalam trakea, kembangkan cuff, dan pastikan ventilasi.
Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman.
Intubasi fiberoptic melalui laryngeal mask airway
Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA.
Berikan lumbrikasi pada ET kemudian ET diposisikan di bronchoscope.
Masukan bronchoscope melewati LMA, kemudian masuk ke trakea. ET akan masuk bersama dengan bronchoscope.
Pastikan posisi ET terlihat dan tarik bronchoscope.
Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman.
Passage of Intubating Guide melalui laryngeal mask airway
Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA.
Masukan Ventilating atau non ventilating guide melalui LMA –
Ventilating guide dapat memberikan verifikasi posisi dari guide dengan
capnometry sebelum endotracheal tube masuk.
Pindahkan LMA, masukan ET dengan ukuran yang tepat melalui guide kemudian angkat intubating guide.
Pastikan posisi ET di trakea dengan bronchoscope, capnometry dan ventilasi.
Amankan ET.
Laringeal Mask Airway dapat memventilasi pasien sewaktu dilakukannya tehnik penatalaksanaan jalan nafas lainnya
Trakeostomi.
Retrograde wire-guide intubation.
Kesulitan pemasangan laryngeal mask airway pada penatalaksanaan jalan nafas sulit
Epiglottis dapat jatuh menutupi sewaktu pemberian jalan nafas dan
keterbatasan ukuran ruang untuk memasukan alat lain kedalam trakea. Hal
ini dapat terjadi meskipun pasien dapat diventilasi.
Batang dari LMA dapat membatasi jalan masuk alat lainnya.
Endotracheal tube mungkin terlalu pendek untuk masuk kedalam trakea melalui LMA.
Kombinasi LMA dan endotracheal tube sulit untuk diamankan dan dapat terlepas keluar dari trakea.
Adanya resiko aspirasi dari benda-benda yang berasal dari lambung. Pemasangan proseal dapat menurunkan resiko ini.
TEHNIK JALAN NAFAS LANJUTAN
Intubasi
Retrograde: Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide
wire melalui membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara
retrograde. Tehnik ini dapat dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu
yang sudah disediakan dalam kotak perlengkapan yang tersedia. Dengan
latihan, tehnik ini dapat dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama.
Ventilasi
Transtracheal Jet: Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial,
jet ventilation masuk kedalam trakea dengan menembus membran
krikotiroid yang kemudian akan memberikan ventilasi yang adekuat pada
pasien yang tidak mungkin untuk dilakukannya intubasi. Jet ventilation
membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang tinggi agar dapat berfungsi
efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup sumber
gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat
menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu
jembatan untuk melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada
beberapa resiko terhadap tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma
dan emfisema subkutis.
Chricothyroidotomi: Jalan nafas dapat melewati
membrane cricotiroid dengan membuat insisi pada membrane ini atau
dengan menusukan jarum dan guide wire. Endotracheal tube kemudian dapat
masuk ke trakea dan kemudian pasien dapat diventilasi. Beberapa set alat
perlengkapan ini sudah tersedia untuk mempermudah tehnik ini dilakukan.
Trakeostomi:
Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas
alternatif, kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan
pembedahan ini merupakan salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.
KERETA PERLENGKAPAN JALAN NAFAS SULIT
Perlengkapan yang dibutuhkan untuk menangani pasien dengan anatomi
jalan nafas sulit harus sudah dikuasai. Banyak instistusi yang sudah
menggunakan oerlengkapan ini sebagai perlengkapan standar. Contoh :
Setiap ruang operasi sudah memiliki pengatur oksigen/pengatur jet
ventilator tergantung pada mesin anestesi. Ini berhubungan dengan sumber
oksigen dan siap untuk digunakan. Perlengkapan standar selanjutnya
termasuk kereta perlengkapan jalan nafas sulit. Kereta ini diletakan di
antara ruang operasi utama dan juga di ruang obstetrik. Kereta ini
memuat berbagai perlengkapan pilihan untuk penanganan pasien dengan
jalan nafas sulit. Pada modifikasi kereta, bagian belakang kereta
tersebut dapat diletakan pelindung bronchoscope fiber optic. Pengatur
silinder oksigen tergantung disamping kereta. Perlengkapan untuk
penanganan pasien dengan jalan nafas sulit dapat diambil pada laci-laci
kereta tersebut. Perlengkapan di laci tersebut diantaranya:
Laci 1 :
Kateter suction Yankauer; Handle Laringoskop (besar dan kecil); Bilah
laringoskop (Mac 3, 4, Miller, @, 3); Plester; Klem tube; Forsep Magill.
Laci 2 : Obat-obatan; Jarum suntik; Cairan infuse; Gel lumbrikasi; antifog solution.
Laci 3 : Berbagai perlengkapan seperti : Swivel adapters; stylets; dll.
Laci 4 : Laringoscope fiber optic rigid.
Laci 5 : Sungkup oksigen; guide wires (0,035); endotracheal tube
(ukuran 2-9); Cricothyrotomi set; Perlengkapan retrograde intubation.
Laci 6 : LMA ( ukuran 1-5); Disposable ambu bag; Oral airways; nasal
trumpets; oral airways untuk fiberoptic intubation; gum elastic bougie.
Perlengkapan
tersebut harus sudah dipersiapkan dan disediakan untuk penanganan
pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga memiliki
perlengkapan tersebut tidaklah cukup namun harus menguasai berbagai cara
penggunaan perlengkapan tersebut dengan baik. Untuk penguasaan
perlengkapan ini membutuhkan banyak latihan.
PENDEKATAN UNTUK ANESTESI JALAN NAFAS
Hanya pasien yang koma ataupun pasien yang sangat kooperatif yang bisa
tidak membutuhkan anestesi. Tetapi pada umunya pasien membutuhkan
beberapa jenis anestesi agar dapat memanipulasi jalan nafas dengan baik.
Anestesi umum : Dapat diberikan intravena ataupun inhalasi dan harus
dilakukan dengan hati-hati. Pada pasien yang bernafas spontan akan lebih
mudah bagi dokter anestesi untuk mengetahui letak laringnya dengan
mengikuti gelembung udara yang dihembuskan pasien. Pada dasarnya
pernafasan spontan dapat menyediakan potensial jalan nafas yang lebih
baik daripada jika diberikan pelumpuh otot. Pengendalian jalan nafas
dengan atau tanpa pelumpuh otot dapat terapkan pada beberapa pasien.
Pendekatan ini membutuhkan lebih bayak prosedur yang harus dilakukan
agar pasien dapat diventilasi dan dioksigenasi lebih baik.
Anestesi
topikal : Dapat dilakukan pada semua pasien. Ada beberapa perlengkapan
yang digunakan untuk melakukan anestesi lokal diantaranya : Self
grabbing forsep, penyemprot, gelas obat, jarum suntik (agar bisa
mendepositkan obat anestesi lokal di pita suara), penjepit lidah dan
kaca. Untuk memberikan anestesi di jalan nafas yang adekuat maka
persarafan yang terletak di jalan nafas harus dimengerti. Anestesi
harus mencakup tiga persarafan di jalan nafas yaitu Nervus Trigeminus
untuk daerah nasofaring, Nervus Glossofaringeus untuk daerah orofaring
dan Nervus Laringeus yang merupakan cabang dari Nervus Vagus untuk
daerah epiglottis dan laring. Ketiga blok pada saraf ini dapat dilakukan
dengan pemberian anestesi topikal, lokal ataupun injeksi. Topikal
anestesi dilakukan dengan membasahi daerah permukaan dengan cairan
anestesi, dapat juga dengan nebulizer pada jalan nafas, atau dengan
penyemprotan atau dengan injeksi cairan anestesi lokal di jalan nafas.
Berbagai cara dan tehnik anestesi dapat dilakukan, tetapi hanya sedikit
yang dapat melakukan cara-cara ini:
Cocaine, cairan 2-4%.
Menimbulkan anestesi lokal yang baik dan menyebabkan vasokontriksi serta
dapat dikendalikan penggunaannya. Durasi 30-60 menit.
Lidocaine,
cairan 2-4%. Dosis dapat dinaikkan sampai 200 mg pada orang dewasa.
Menimbulkan anestesi lokal yang baik dan vasokontriksi jika
epinefrin/phenilepinefrin ditambahkan. Durasi 60-180 menit.
Benzocaine, spray atau tablet. Menimbulkan onset yang cepat. Relatif
anestesi lokal yang baik. Durasi 30-60 menit. Hati-hati pada penderita
methemoglobinemia pada pemberian dengan dosis besar.
Pilihan Pemberian
Cairan anestesi lokal yang diberikan melalui nebulizer : Lidocaine 4%, 2
mL dalam perlengkapan mesin nebulizer saat pasien sadar, lebih baik
dilakukan di area preoperatif. Menimbulkan anestesi pada jalan nafas
yang baik, jika pasien inspirasi dalam maka anestesi akan terjadi sampai
ke trakea.
Tehnik langsung dengan penyemprotan : Biasanya
dilakukan pada pasien di ruang operasi. Tehnik ini dilakukan dengan
menarik lidah pasien sehingga pita suara dapat dianestesi. Cara lain
adalah dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic untuk dapat langsung
melihat pita suara sehingga mempermudah penyemprotan pada pita suara.
Tehnik anestesi langsung menggunakan tampon kassa : Anestesi lokal
dengan membasahi permukaan mukosa dengan kassa tampon yang diberi cairan
anestesi kemudian ditekan pada daerah pillar tonsil untuk memblok
Nervus Glossofaringeus atau bisa juga dengan memasang forseps khusus
untuk menekan kapas pada pillar tonsil tersebut.
Blok Nervus
Glossopharyngeal dapat juga dilakukan dengan nebulizer atau dengan
penyemprotan atau dengan injeksi langsung dengan jarum yang bengkok.
Penusukan transtracheal untuk pemberian cairan anestesi lokal pada
jalan nafas : Dilakukan dengan penusukan jarum atau cateter intravena
melalui dinding anterior trakea. Secara umum melalui membrane
Cricothyroid. Sudut jarum mengarah ke kaudal untuk menghindari resiko
trauma pada pita suara. Kemudian dilakukan aspirasi sampai ada udara
masuk (membuktikan bahwa jarum sudah berada di intratracheal). Secara
cepat kemudian disemprotkan cairan anestesi lokal sebanyak 2-4 mL. Hal
ini akan menyebabkan timbulnya batuk yang akan membantu proses
penyebaran zat anestesi lokal tersebut sampai ke pita suara dan
epiglottis.
Blok Nervus Laringeal Superior : Bentuk dari laring
memiliki persarafan sensorik dan motorik. Fungsi-fungsi motorik tersebut
adalah adduksi (menutup pita suara), abduksi (membuka pita suara) dan
penengangan (menghasilkan nada sura tinggi). Semua persarafan sensorik
dan motorik dari struktur Nervus Laringeus berasal dari Nervus Vagus
(tabel 6-1).
Reflek laryngeal dapat terstimuli pada daerah laring
atau di supraglottis sehingga menimbulkan reflek menutupnya pita suara
dan timbulnya laringospasm. Blok sensorik dari mukosa laring membutuhkan
blok dari Nervus Laringeal Superior untuk memblok atas dari pita suara
dan blok pada Nervus Laringeus Rekuren untuk blok bagian bawah pita
suara. Blok Nervus laringeus dapat dilakukan dengan pendekatan
pemberian lateral ataupun midline. Penekanan os Hyoid kearah yang
diinginkan dilakukan untuk memfasilitasi pendekatan lateral. Pemberian
cairan anestesi injeksi dengan pola kipas. Pada penusukan dan penarikan
jarum suntik tersebut di membrane cricothyroid akan membasahi persarafan
didaerah tersebut. Motor blok yang komplit (untuk melakukan intubasi
contohnya) membutuhkan blok Nervus Laringeus rekuren karena nervus ini
mempersarafi semua fungsi motorik dari laring kecuali otot cricotiroid,
dan biasanya dilakukan dengan transtecheal atau spray anestesi lokal
pada cricothyroid.
LATIHAN
Penggunaan berbagai perlengkapan
yang tersedia dan menguasai perlengkapan tersebut adalah jalan
satu-satunya untuk dapat menangani pasien dengan anatomi jalan nafas
sulit. Seorang dokter anestesi harus dapat menggunakan berbagai
perlengkapan ini dan harus mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan
ilmiah agar dapat mengajarkan penggunaan alat-alat tersebut. Dengan
begitu maka dokter anestesi tersebut juga akan latihan untuk menggunakan
alat tersebut pada pasien normal. Sudah diketahui bahwa penggunaan alat
tersebut pada pasien tidak sadar serta lumpuh dapat mempermudah pemula
untuk belajar menggunakan alat-alat ini pada saat dibutuhkan. Sebagai
contoh, Bronchoscope fiberoptic yang fleksible dapat digunakan untuk
intubasi pasien dengan anatomi jalan nafas normal sebagai cara untuk
memperahli diri. Dengan pendekatan yang hati-hati, maka pasien sebagai
subyek tidak akan memiliki efek samping dari intubasi tersebut.
Pendekatan yang sama dapat dilakukan pada tehnik lain yang ingin
digunakan untuk latihan.Hal ini hanya akan menyita sedikit waktu bagi
kasus yang sedang ditangani dan ketika bertemu dengan pasien yang
memiliki jalan nafas yang abnormal maka kita akan terbiasa dan akan
berhasil menguasai jalan nafasnya.
KESIMPULAN
Penatalaksanaan
yang baik pada pasien dengan anatomi jalan nafas abnormal bergantung
pada prediksi, preparasi, dan pratice. Cara terbaik untuk memastikan
penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit adalah dengan mengenali
kesulitan-kesulitan jalan nafas tersebut. Prediksi yang tepat adalah hal
yang penting untuk dapat melakukan dan merencanakan tehnik intubasi
yang aman. Preparasi termasuk mempunyai dan menggunakan rencana
alternatif pada penanganan pasien jika pada rencana penanganan yang
pertama gagal. Ini adalah keuntungan jika berlatih menggunakan penuntun
seperti algoritma jalan nafas sulit ASA. Kita harus tahu kapan waktu
yang tepat untuk menukar tehnik yang berbeda jika tehnik yang pertama
tidak berhasil dilakukan. Persiapan untuk pasien dengan jalan nafas yang
sulit adalah termasuk memiliki semua perlengkapan yang dibutuhkan pada
lokasi yang mudah dijangkau, contohnya kereta perlengkapan untuk jalan
nafas sulit. Persiapan juga termasuk latihan, Karena semua alat
perlengkapan yang dibuat untuk membantu dokter anestesi dalam
mengintubasi pasien dengan jalan nafas sulit dibutuhkan penguasaan dari
perlengkapan tersebut. Latihan ini harus dalam kondisi situasi yang
tidak gawat darurat. Latihan yang adekuat akan membuat dokter anestesi
menguasai berbagai perlengkapan, dan ini adalah hal yang penting.
Pada beberapa pasien tehnik tertentu dapat lebih berhasil dari tehnik
yang lain karena itu dokter anestesi harus memiliki lebih dari satu
pilihan penatalaksanaan pada jalan nafas sulit. Saran praktis :
Penanganan pasien akan lebih mudah jika pasien masih dapat dioksigenasi,
prediksi yang tepat membuat lebih banyak pilihan penanganan, dan harus
memiliki lebih dari satu pilihan penanganan. Pilihlah tehnik yang ingin
dikuasai dan latih pada pasien normal untuk lebih menguasai tehnik
tersebut. Dan terakhir jangan takut untuk meminta bantuan.